SENYUM DOKTER KECIL
Daftar Isi
oleh Wahda Khadija Salsabiila
Langkah-langkah
kaki-kaki kecil tak beralas itu semakin cepat berpacu dengan waktu seolah tak
ingin kehilangan sedetik pun moment.
Hari ini mereka akan menyambut kedatangan mahasiswa dari UGM yang akan
mengadakan KKN selama sebulan di Desa Wonokromo, sebuah Desa di kabupaten
Wonosobo.
Kabut yang
mulai turun sore itu tak membuat semangat mereka menurun. Udara yang menyergap
dingin tak membuat langkah mereka terhenti. Rasa penasaran yang muncul sejak
dua pekan yang lalu saat Pak guru di kelas menyampaikan kedatangan mahasiswa
KKN semakin memuncak. Sungguh, wajah-wajah polos itu begitu antusias.
Pukul
16.00, balai Desa telah ramai oleh para pejabat desa, warga desa, dan anak-anak
sekolah; mereka telah menunggu sejak seperempat jam yang lalu, meskipun
mahasiswa KKN dijadwalkan akan tiba pukul 16.30.
“Mereka
datang!” teriak seseorang dari luar. Akhirnya rasa penasaran mereka
terbalaskan. Para mahasiswa itu memperkanalkan diri Ada Kak Fitri yang
berjilbab lebar, Kak Dwi yang cantik dan berambut pendek lurus, Kak Wayan yang
Kocak, Kak Reza, Kak Adi, dan Kak Hakim.
Seorang
anak perempuan siswa kelas 4 terdiam di tempat duduknya. Senyumnya mengembang
menatap para mahasiswa yang berjajar di panggung. Sementara matanya bercahaya
dan berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata ‘aku ingin menjadi seperti mereka’.
***
“Adik-adik,
besok kakak akan datang ke sekolah lagi, adik-adik kakak beri tugas untuk
menggambar sikat gigi, yang gambarnya bagus kakak beri hadiah sikat gigi” kata
kak Fitri di depan kelas.
Esoknya,
seluruh penghuni kelas 4 membawa gambar terbaik mereka tak terkecuali Ririn,
gadis kecil berkerudung itu telah terpikat oleh pesona yang dibawa para
mahasiswa KKN. Sejak pertama melihat ia sangat terkagum-kagum.
“Bagus!
Nah, sekarang Kakak akan memberikan hadiah untuk yang gambarnya paling bagus.
Ririn, Melia, dan Yusuf. Silakan maju ke depan.”
Dengan
senyum terkembang, gadis tanpa alas kaki itu mengambil hadiah berupa sikat gigi
dari Kak Fitri, sikat gigi pertama yang khusus untuk dirinya karena selama ini
ia dan keluarganya hanya memiliki satu sikat gigi yang kadang belum diganti
hingga bulu-bulu sikatnya hampir habis.
“Hari ini
kita akan belajar tentang gigi dan mulut. Kak Fitri akan mencoba
memeriksa mulut kalian.” Kata Kak Fitri saat Ririn dan Melia tengah belajar
menyiapkan kompetisi dokter kecil.
Ririn
terperangah, dalam hati ia sangat gundah karena menyadari giginya pasti banyak
masalah.
“Ririn
kenapa suka nutupin mulut kalau ketawa, hayo?” selidik Kak Fitri. Yang ditanya
malah semakin rapat menutupi mulutnya. Ya, kata Ibu dirumah, barisan gigi Ririn
seperti jagung buluk karena ia jarang menggosok gigi.
Cekatan
muslimah berjilbab itu menyiapkan alat-alat periksa giginya. Sejurus kemudian
ia telah menguasai mulut Ririn dan dengan bantuan kaca mulutnya menelusuri satu
persatu giginya hingga ke bagian terdalam.
“Ririn
jarang sikat gigi ya?” cetus Kak Fitri tiba-tiba. Ririn mengangguk malu, tanpa
menjawab. Kaca mulut dan senter masih belum selesai bergerilya di rongga
mulutnya.
“Besok
kita bersihkan gigi Ririn.” Lanjut Kak Fitri tegas.
***
Menunggu
hari berganti seolah detik demi detik berjalan teramat lambat bagi Ririn. Ia
tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Kak Fitri besok, tapi ia belum
pernah melihat orang ‘operasi gigi’ atau sejenisnya. Bayangan-bayangan berbagai
alat yang akan dipakai dan rasa sakit membuatnya tak bisa memejamkan mata
hingga larut.
Esoknya ia
memakai pakaian terbaiknya untuk menghadapi hari yang bisa jadi menjadi hari
bersejarah bagi giginya itu. terselip juga harapan-harapannya jika nanti
giginya bisa dibersihkan.
Kak Fitri
memintanya duduk di kursi, bersandar di kursi beralas bantal yang sengaja
diletakkan di sana agar punggungnya tidak sakit. Ia tak begitu memperhatikan
apa yang dilakukan kak Fitri, hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya.
Mulai dari berkumur dengan cairan berwarna merah, membuka mulutnya lebar-lebar,
dan menahan rasa ngilu ketika dengan alat yang bernama entah apa itu Kak Fitri
menggosok karang giginya.
Hampir dua
jam eksekusi gigi itu berjalan, Melia sahabat sekaligus rivalnya di kelas tetap
setia menemani Ririn, sesekali bertanya ini itu kepada Kak Fitri.
***
Kompetisi
dokter kecil yang ditunggu-tunggu telah tiba. Ririn telah meminjam sepatu dari
tetangganya untuk hari istimewa yang dinanti itu. pakaian serba putih melakat
di tubuhnya, terlihat manis meski kulitnya yang coklat terlihat semakin coklat.
“Kak,
Ririn berjanji akan memberikan yang terbaik. Apapun hasilnya nanti, Ririn akan
berusaha.” Ucap Ririn bersemangat di hadapan Kakak-kakak mahasiswa.
“Bagus!
Kita harus melakukan yang terbaik. Semangat!” sambut Kak Fitri mengobarkan lagi
semangatnya.
Mereka
membuktikan perkataannya. Ririn yang menjadi juru bicara kelompoknya didampingi
Melia dan Yusuf sigap menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Babak
pertama mereka mampu memimpin diantara dua kontingen lainnya. Namun, saat babak
rebutan berlangsung, beberapa kali mereka tertinggal sedetik dengan kelompok
lain. Akibatnya, soal yang bisa mereka jawab harus direlakan terjawab oleh
kelompok lain.
“Sudahlah,
kalian sudah memberikan yang terbaik. Kakak semua bangga dengan kalian.” Hibur
Kak Fitri lembut saat dengan wajah kuyu mereka kembali ke tempat duduk. Kecewa,
itu yang terbayang dalam wajah mereka. Mereka telah gagal menuju babak final
hanya karena selisih 1 angka.
Satu
persatu mahasiswa KKN itu menghibur Ririn, ia yang paling kecewa saat itu.
perlahan ia kembali tersenyum meski teramat tipis. tiba-tiba Kak Fitri duduk di
sebelahnya dan dengan lembut merangkul pundaknya, menyalurkan energi sekaligus
mengucapkan terimakasih dengan sangat tulus.
Mata gadis
itu berkaca-kaca demi mendapatkan perhatian yang begitu dalam. Kepercayaan
dirinya kembali muncul. Kepercayaan diri yang dibangunnya beberapa pekan
terakhir setelah giginya menjadi seputih susu kembali runtuh karena kegagalan
sesaat di kompetisi itu. Namun dalam hati ia kembali bertekad untuk menumbuhkan
rasa itu, ia tak ingin lagi mengecewakan orang-orang terkasihnya, dan
orang-orang yang telah berbuat banyak untuknya.
“Kak, aku
ingin menjadi dokter gigi seperti Kak Fitri.” Ucap Ririn mantap.
Dalam hati
ia bertekad menjadi seorang dokter agar bisa bermanfaat untuk banyak orang, dan
menjadi seperti mahasiswa KKN di kampungnya, orang-orang terpelajar yang peduli
dan tidak tinggi hati.
Impiannya
telah ia sematkan dalam-dalam di ruang hatinya, diaminkan oleh para malaikat
yang mengelilinginya, dan melesat jauh hingga ‘ArsyNya. Meskipun ia tak
pernah tahu alur cerita seperti apa yang telah Allah skenariokan untuknya,
meskipun ia tak pernah mengerti takdir mana yang telah Allah gariskan dalam hidupnya.
Senyum itu
pertanda ia telah menemukan bahagia.
*based on a true story, kisah ini pernah diikutkan
sebuah lomba tapi belum lolos
special
to Kak Fitri, wherever U are, thanks a lot for all u’r job. Kakak… aku masih
mengingatmu hingga hari ini, masih ingatkah engkau? Semoga Allah selalu
menjagamu dimanapun.
Tahun
1997 (atau mungkin 1998, agak lupa waktu itu aku kelas 4 SD), mahasiswa KKN
dari UGM datang ke Desaku dan mengadakan berbagai macam kegiatan. masih
tersimpan rapi kenangan bersama kak Fitri (yang bahkan tak kuketahui nama
lengkapnya) aku hanya tahu ia berasal dari Aceh. Jilbab lebarnya membuatku
kagum.
oleh Wahda Khadija Salsabiila
Posting Komentar
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,