ASI Adalah Perjuangan
Daftar Isi
ilustrasi, credit pixabay |
Assalamu’alaikum,
Lama sekali membiarkan blog ini menggalau dan sepi. Eh?!
Semoga Ayah-Bunda ada yang kangen dan langsung membaca postingan ini
*apasih*
Maaf ya, abaikan saja yang sedang nggak jelas ini, beberapa hari kemarin
mau meramaikan world breastfeeding week atau Pekan Asi Dunia pun akhirnya menyerah dan tidak bisa posting
di hari terakhir.
Well, meskipun begitu, saya masih berusaha mengumpulkan semangat untuk
menuliskan pengalaman pertama saya memberikan ASI ke #anugerahdarisurga.
Terpaksa Sectio
Ah, mangingat kisah 2,5 tahun yang lalu, luka bekas Sectio itu tiba-tiba
ngilu.
10 hari menjelang HPL, kami sekeluarga pergi ke Kabupaten Semarang untuk
mengunjungi saudara sekaligus jalan-jalan karena ada keperluan lain. Ingat
sekali waktu itu kami menikmati makan siang yang cukup terlambat di warung
depan pasar Sumowono, memesan nasi pecel dan lauk mangut belut yang pedas. Hm...
nasi yang panas mengepul dipadu dengan mangut belut bersantan dan pedas, jika
tidak sedang hamil tentu saya lahap banyak-banyak.
Esok paginya, ternyata perut mulas dan pup seperti diare. Tidak parah,
hanya beberapa kali dan lembek, tidak seperti biasanya. Namun semakin malam
semakin terasa sakit perutnya. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan ini
tanda-tanda mau melahirkan? Tapi tidak ada cairan ataupun lendir berdarah
seperti yang dialami teman-temanku menjelang lahiran. maka saya pun hanya
‘menikmati’ sakit itu dan berpikir itu hanya efek dari makan makanan pedas
sehari sebelumnya.
Rupanya, sampai esoknya lagi belum sembuh mulas di perut itu malah makin
menjadi. Seperti saran teman-teman, aku pun berjalan keliling rumah, bersujud,
dan banyak hal kulakukan demi mengurangi sakitnya, termasuk tiduran di kasur.
Ba’da dhuhur, perut terasa makin kecang dan aku panik, karena itu seperti
kontraksi yang diceritakan teman-teman, jaraknya sekitar satu jam sekali. Uuugh!
Sampai mau makan siang pun tak berselera. Suami memaksaku untuk makan siang dan
dengan ogah-ogahan saya bangun dari kasur tapi tiba-tiba ‘pyok!’ seperti keluarnya darah haidh yang deras begitu bangun dari duduk. Kami berpandangan dan
sama-sama panik ‘jangan-jangan ketuban pecah!’ itu yang ada di kepala kami
berdua.
Benarlah, karena saat dicium rasanya anyir, tidak pesing seperti air
seni. Buru-buru saya dilarikan ke bidan tempat saya periksa. Sampai di sana
diperiksa oleh bidan jaga dan beliau memastikan itu adalah air ketuban. Saya
pun dirujuk ke Rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Bersalin Kusuma, yang kami
pilih dengan pertimbangan jaraknya cukup dekat dari rumah dan beberapa teman juga melahirkan di
sana.
Setelah masuk IGD dan diperiksa lagi, rupanya sudah masuk bukaan 3.
Artinya, perkembangan cukup bagus dan jika lancar saya bisa melahirkan normal beberapa
jam lagi. Bismillah, mari bantu Bunda berjuang, Sayang... bisikku pada bayi di
perut.
Menjelang maghrib, bidan jaga memeriksa lagi dan hasilnya sudah bukaan 5.
Alhamdulillah... insyaAllah lancar. Do’a - do’a terus kulantunkan disela
kontraksi yang makin terasa dan makin sering. Suami yang menunggui tak henti
menyemangati dan mendoakan meski sesekali mencandai.
Pukul 7 malam, kembali bidan jaga memeriksa, namun belum nambah bukaan juga ternyata.
Pukul 7 malam, kembali bidan jaga memeriksa, namun belum nambah bukaan juga ternyata.
ilustrasi, credit pixabay |
“Bu, seperti yang saya katakan tadi, karena belum nambah juga bukaannya,
jadi diinduksi ya..” saya hanya mengangguk lesu mengiyakan beliau yang sejurus
kemudian memasukkan obat induksi ke dalam cairan infus. Beberapa tetes per
sekian detik, ah saya lupa tepatnya.
“Jangan lupa, kalau sudah terasa mau mengejan, teriak panggil saya, ya
Bu..” pesannya sebelum keluar dari ruang bersalin.
Uuugh! Ternyata benar! Diinduksi itu rasanya lebih sakit dari kontraksi
alami. Dan saya pun harus menerimanya, sambil meringis kesakitan dan istighfar
tak henti. Jantung makin berdetak kencang membayangkan jika harus operasi
bagaimana? Biaya dari mana? Dan segala keresahan muncul di hati.
Berkali-kali bidan menanyakan apakah sudah ingin mengejan, bahkan beliau
masuk ruangan karena tidak mendengar saya teriak.
“Sayang tenaga saya, Bu.. biarlah saya tahan-tahan sakitnya supaya saya
masih kuat mengejan..” jawabku.
Satu jam, tak ada perubahan sampai akhirnya beliau memutuskan untuk
menambah dosis induksinya.
Pukul 9 malam, dokter obsgyn visit dan lagi-lagi daat diperiksa, bukaan
masih tetap 5. Beliau berpesan jika sampai nanti pukul 11 malam belum ada perubahan,
harus dilakukan operasi. Dan, menanti detik demi detik sambil menahan rasanya
kontraksi itu sesuatu yang sangat... ah sulit saya melukiskan.
“Silakan tanda tangan di sini, Pak...” kata bidan sambil membawa dokumen
persetujuan untuk operasi.
Saya hanya tersenyum kecut memandangi suami yang tak kalah bimbang dan khawatir.
“Bismillah, Bund.. semangat, ya! Terus berdo’a!”
Saya hanya bisa pasrah, masih dengan meringi-ringis menahan kontraksi yang terus ada tapi tanpa ada pergerakan janin yang turun ke jalan lahir. Saat perawat memintaku untuk mengganti pakaian dengan pakaian operasi, saya menangis lagi. Ah, cengeng ya?! Sudah sejak tadi saya menangis, sejak keputusan harus operasi itu diambil.
Saya hanya bisa pasrah, masih dengan meringi-ringis menahan kontraksi yang terus ada tapi tanpa ada pergerakan janin yang turun ke jalan lahir. Saat perawat memintaku untuk mengganti pakaian dengan pakaian operasi, saya menangis lagi. Ah, cengeng ya?! Sudah sejak tadi saya menangis, sejak keputusan harus operasi itu diambil.
Tapi apa bisa dikata? Bukankah begitu prosedurnya?
Saat masuk ruang operasi yang dingin dengan banyak lampu dan peralatan,
rasanya makin jeri dan ingin lari saja. Tapi pasrah.. hanya itu yang bisa
kulakukan. Terlebih energi sudah terkuras habis meski sejak awal sudah menahan
diri untuk tidak berteriak kencang.
“Saya masukkan anestesi lewat punggung, ya Bu..” kata dokter anestesinya,
dan saya bersiap membungkuk sambil menahan sakitnya dengan memeluk batal. Setelah
itu, kurasakan bius mulai bekerja dan saya setengah sadar, mendengar apa yang
mereka bicarakan dan merasakan tangan-tangan itu bekerja di atas perut, tapi
tak bisa berkomentar apa-apa. ‘
Rasa lega membuncah saat kudengar tangis itu pertama kali. Tangis yang
sayup-sayup melewati dunia kristal yang sedang kulewati. Ah, kalau pernah
menonton film Superman, kurang lebih begitulah dunia yang ‘kumasuki’ saat aku
setengah sadar melewati masa operasi.
“Bayinya perempuan, besar nih! Wah, 3,3 kg!”
“Jam berapa ini? Masih masuk tanggal 25 Februari ya? Masih ada waktu
hampir setengah jam sampai pukul 12”
Begitulah keriuhan di ruang operasi yang kudengar samar-samar. Hamdallah terus
terlantun dari bibir, semoga semuanya baik-baik saja...
“Selamat ya Mba, bayinya perempuan. Cantik sekali. Alhamdulillah selamat. Air ketuban sudah kering nggak ada setetes pun,” kata salah satu perawat yang
rupanya rekan kerja ibu mertua dulu. Alhamdulillah ya Rabb... barangkali
tindakan SC ini adalah jalan terbaik.
Gagal IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
ilustrasi, pixabay |
Selama hamil, saya rajin mengumpulkan berbagai informasi mengenai
kehamilan, menyusui, dan bayi. Salah satunya tentang IMD, yang terkadang
diabaikan oleh sebagian bidan/dokter. Jadi, jika mereka tidak memberikan bayi
untuk IMD pasien bisa memprotesnya.
Kondisinya waktu itu tengah malam, suami dan ibu mertua yang telah
menunggu saya sejak siang hari sudah terkuras habis energinya. Saya pun hanya
bisa pasrah tergeletak di atas ranjang rumah sakit, menikmati setengah badan
bawah yang mati rasa. Dalam hati teramat risau karena belum melihat anakku sama
sekali. Bagaimana jika dia ditukar seperti cerita-cerita di sinetron itu?
bagaimana jika ini? Jika begitu? Tapi kutepis semuanya dengan memohon
perlindungan dari Allah.
Esoknya, menjelang subuh suami dan ibu mertua izin pulang untuk membersihkan
badan dan mengurus beberapa keperluan.
Pagi hari setelah badan saya dibersihkan oleh perawat jaga, seorang bidan
datang mengantarkan bayi perempuan cantik itu.
Hasna umur 5 hari. foto yang baru lahir nggak ketemu.. :( foto dok. pribadi |
“Silakan, Ibu.. ini bayinya, cantik sekali. Rambutnya hitam lebat. Silakan
mulai disusui ya Bu..” kata beliau yang sejurus kemudian menjelaskan dan
mengajari posisi menyusui yang nyaman mengingat saya baru selesai operasi.
Saya pun terperangah, rupanya bayi lucu menggemaskan itu kulitnya putih
bersih, tapi hidungnya sukses mewarisi hidung bundanya. Meski saya pun tak tahu
benar apakah ini anak saya, tapi seperti ada ikatan batin yang membuatnya
terdiam begitu menempel di dadaku.
Kucoba menyusui, tapi dia masih belum menemukannya, dan saya pun
kesulitan mendapatkan posisi yang nyaman. Bayi meronta-ronta, sementara bekas
operasi mulai terasa sangat nyeri terlebih saat menggerakkan badan.
Sekitar pukul 9 pagi, dokter anak visit dan menanyakan kondisi. Beliau berpesan
jangan buru-buru untuk memberikan selain ASI. Cobalah untuk terus memberikan
meskipun belum keluar, karena itu akan merangsang keluarnya ASI.
“Semangat ya, Bu. Dedeknya bisa bertahan 3x24 jam tanpa meminum apapun. Ibu
rileks saja, insya Allah nanti keluar,”
Tak tega rasanya melihatnya menangis dan menjerit kehausan, atau entah
apa yang dia mau, kita orang dewasa kadang tak memahaminya bukan?
“Adiknya olah raga terus, biar jantungnya kuat, ya Dek?” begitu komentar
pasien di bed sebelah yang juga pasca SC sehari sebelumnya.
Alhamdulillah, sekamar dengan pasien dan keluarganya yang baik hati, yang
tak mempermasalahkan bayi kami yang saat menangis jeritannya terdengar seantero
rumah sakit.
ASI Saya Belum Keluar
ilustrasi, pixabay |
Sampai siang harinya, ASI tetap belum keluar. Rasanya keras dan sakit,
terlebih saat lidah si mungil itu mencoba menyusu. Uuuh! Lidahnya tajam sekali
menggores kulit.
Saat bidan jaga datang lagi, beliau pun membantu mengurut payudara. Jangan
tanya rasanya, ya. Terlebih ditambah nyeri di perut.
Malam hari saat ASI belum keluar juga, kami mulai panik tapi tetap
positive thinking. Bergantian dengan ayahnya menenangkan saat dia menangis dan
rewel. Ganti popok, menggendong, meninabobokan, semuanya dilakukan oleh
ayahnya, saya hanya bisa memandang sedih dari atas ranjang.
Sampai pagi harinya, saat bidan laktasi visit lagi, ASI saya belum juga
keluar. Lagi-lagi beliau mengurut dan rasanya lebih sakit dari sebelumnya.
Harus tetap semangat dan berdo’a, bersabar juga, tekadku.
Saat akhirnya ASI itu keluar hanya setetes demi setetes, bahagia dan
syukur membuncah. Memandangi si kecil yang tenang menyusu adalah kebahagiaan
tersendiri. Alhamdulillah, esok harinya meski si kecil kuat sekali menyusu,
namun ASI terus berproduksi seperti tak ada habisnya.
Melihat ada warna putih susu yang keluar dari sela bibirnya itu sungguh
membahagiakan. Meski menyusu sembari rebahan dan saat berganti posisi pun harus
dengan bantuan suami.
Perjuangan Itu Baru Bermula
ilustrasi, google |
Tiga hari di rumah sakit seperti tiga tahun rasanya. Bayangkan saja, saya
yang sejak dulu tidak pernah opname tiba-tiba harus 'piknik' di rumah sakit karena operasi
caesar. Dulu untuk periksa ke rumah sakit saja saya takut, dan memilih untuk
periksa ke puskesmas atau dokter praktik, supaya mendapat perawatan jalan, tak
perlu rawat inap di rumah sakit yang menyeramkan itu.
Pulang ke rumah, hal yang kutakutkan adalah seandainya ibu mertuaku
melarangku makan ini-itu. dan berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Ternyata, besok paginya begitu bangun pagi sudah
tersedia segelas teh manis hangat dan sate lontong ditambah seporsi sayur
pecel. masyaAllah.. betapa baik dan perhatiannya beliau, semoga Allah
membalasnya. Malu sekali, karena sebelumnya su’udzan beliau akan banyak
memberikan larangan.
Tapi, memberikan ASI kepada si kecil rasanya makin berat. Tamu-tamu
berdatangan, tidur berkurang, nyeri yang masih saja bertahan, juga si kecil yang
belum terbiasa dengan cuaca panas setelah tiga hari berada di ruangan be-AC.
Uuh..! hari ke tiga di rumah, tiba-tiba punggung rasanya seperti ditekan
dan kepala tak bisa digerakkan. Jika kupaksakan menyusui sambil duduk dan bayi
beralas bantal, setelah leher menunduk sulit dan sakit sekali digerakkan lagi.
Saat itulah saya merasa menjadi ibu yang tidak berguna. Saat menyusui,
saat melihat suami mencuci popok dan pontang-panting membantuku menjaga
sikecil, air mata tak bisa dibendung. Baby
blues syndrome! Bisa jadi saya terkena post-partum depression itu.
Memang tak sampai ada pikiran untuk (maaf) mencekiknya atau menusuknya
dengan pisau dapur, tapi saya pernah membentaknya dan tidak mau menyusuinya
ketika sampai jam 2 dini hari dia hanya mau berhenti menangis saat digendong dan jika diletakkan sebentar saja jeritannya memekakkan telinga.
Well, ayah bundanya sudah
mengatur pembagian ‘tugas jaga’ tapi jika yang dicari adalah ASI dan dia
sedikitpun tidak mau minum ASIP meski bunda-nya sudah ngumpet. Saya ingin berteriak “Aku menyerah!” tapi
hanya mampu mengucapkannya lewat tangisan yang diartikan bahwa saya capek oleh
suami.
Iya, saya capek. Sangat capek. Siapa ibu baru yang tidak merasa capek? Rutinitas
yang berubah, emosi yang naik-turun, jam tidur berkurang, kewajiban bertambah,
dan segala macam endebre-bre-bre yang harus dilakukan oleh mereka.
Bersyukur sekali kami masih tinggal di rumah mertua sehingga ada beliau
yang membantu ini-itu. Bayangkan saja, seminggu pertama di rumah selama jahitan
di perut belum dibuka, untuk mandi dan berpakaian pun saya harus dibantu oleh
suami atau adik. Jangan tanya bagaimana hebohnya saat menyusui. Beruntung saat
di rumah sakit, bidan dan dokter menyarankan untuk menyusui sambil berbaring,
dan alhamdulillah selama ini tidak masalah meskipun resiko menyusui bayi sambil
berbaring lebih besar dibandingkan sambil duduk/berdiri.
Ah, jika capek itu dialami oleh semua orang, bagaimana saya harus
menyerah?
Saya pun teringat dengan beberapa teman yang punya pengalaman
sendiri-sendiri seputar ASI. Ada salah satu yang bekerja fullday tapi
sukses menyusui bayinya sampai 2 tahun dan rajin pumping dimanapun, bahkan saat mendapat tugas kerja di luar kota
atau luar pulau sekalipun.
Ada juga yang di rumah tapi ASI-nya melimpah dan bisa mendodorkan
sebagian untuk bayi lain yang membutuhkan. Ada lagi yang sudah berusaha
mengkonsumsi berbagai macam ASI booster tapi tidak mempan, ada yang karena
sesaatu dan lain hal ASI-nya terhenti dan tidak mau keluar meskipun sudah berusaha relaktasi.
Jika sudah begini, tak ada alasan untuk terus berjuang dan bersyukur
bahwa meskipun hanya di rumah dan tidak bisa pumping, ASI saya selalu
cukup untuk si kecil.
Diet ASI Karena Bayi Kegemukan?
bukan untuk memamerkan kegemukan anak, tapi inilah alasan kenapa kenalan saya menyuruh untuk diet ASI foto dok. pribadi |
"Mba, bayinya besar sekali.. Diet saja. Kasihan lho, kalau sampai obesitas," kata seseorang yang notabene seorang perawat kesehatan senior.
Meski hati tak terima, saya mencoba menjawab dengan sopan.
"Bayi saya masih ASI eksklusif, ko Bu.. belum ada 6 bulan. Diet apa ya Bu?"
"Ya diet ASI-nya, kalau bayi-nya minta nggak usah dikasih terus.."
Saya pun tidak menjawab lebih lanjut karena takut pengetahuan saya yang masih kurang. Setelah itu, saya mencari informasi dan menanyakan ke grup seputar ASI yang ada di facebook. Kata salah satu pakar, berikan ASI sesuai permintaan bayi, tak ada istilah bayi ASIX yang obesitas.
"Jangan hiraukan suara-suara sumbang di luar sana, karena bisa saja ada perbedaan pendapat, namun berikan yang terbaik untuk anak Bunda," kurang lebih begitu semangat yang ditularkan oleh sesama member di sana.
Alhamdulillah.. saya tidak mengikuti saran kenalan saya untuk diet ASI buat Hasna. Meski pipinya mbem dan tubuhnya gempal, semuanya sehat dan sesuai dengan tumbuh kembangnya. Terbukti setelah MPASI dan umur di atas satu tahun, pertambahan berat badannya tidak secepat bulan-bulan awal.
Saya makin yakin bahwa ASI adalah anugerah Tuhan dan makanan terbaik untuk bayi.
Terus Berjuang untuk Tunaikan
Kewajiban
ilustrasi, google |
“Para ibu hendaklah menyusukan anak -anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yangingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para
ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanyaingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh oranglain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah:
233)
Inilah
yang menjadi alasanku untuk tidak berhenti menyusui, bahkan saat giginya mulai
tumbuh dan gigitannya terasa sangat luar biasa. Atau saat kondisi tidak fit dan
tak ingin diganggu oleh apapun. Memang Allah memberikan keringanan bagi para
ibu yang tidak bisa menyusui. Namun, saya yakin jika berusaha, selalu ada
jalan.
Menyusui
itu bukan hanya kewajiban ibu, tapi juga ayah-nya. Bagaimana ia berperan adalah
dengan men-support sepenuhnya sang istri yang tengah berjuang. Mendampinginya,
menyalurkan bahagia, dan membersamainya sepenuh cinta agar ASI-nya mengalir
lancar.
Semangat
Nge-ASI, para Ibu! Berikan yang terbaik untuk anak-anak kita.
Baca juga: (Bukan) Ibu Sebenarnya
Baca juga: (Bukan) Ibu Sebenarnya
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
Sukses ngASI nya Mba. Semangat!! :D
Huh, bener bgt perjuangan ibu ga ada abisnya..
alhamdllh asinya keluar ya mba..
Gagal tdk berarti stop menyusui.
Akupun caesar 3 kalim anak pertama blom sukses ASIX tp anak ke 2 n ke 3...dg penuh pwejuangan akhirnya bs melewatinya...legaa
semangat mba.. cerita2 ini kelak akan jadi kisah tak terlupa ketika anak2 kita sudah besar... :-)
salam,
kesya