[Seminar Islamic Parenting bersama Teh Kiki Barkiah] Ibu, Guru Pertama dan Utama
Daftar Isi
Assalamu’alaikum, Ayah-Bunda,
Menjadi orangtua memang dituntut untuk menjadi pembelajar selamanya,
bukan? Karena tak ada sekolah orangtua dan perkembangan anak pun mengikuti
perkembangan zaman. Kita tak bisa menerapkan mentah-mentah apa yang dulu
diajarkan oleh orangtua kita kepada kita tanpa memodifikasinya dan menyesuaikan
dengan kondisi dimana anak-anak kita tumbuh saat ini.
Beberapa hari terakhir, muncul kembali berbagai kasus pembunuhan yang
diduga pelakunya adalah ibu kandungnya sendiri. Lalu, bagaimana seorang ibu
bisa kehilangan kewarasannya sampai tega menghabisi nyawa darah dagingnya
sendiri? Yang jelas kita tidak bisa menyalahkannya ansih, karena banyak faktor
yang menyebabkan seorang perempuan (baca: ibu) khususnya yang masih memiliki
bayi/balita bisa kehilangan kontrol emosi. Faktor pendukung terutama keluarga
sangat berpengaruh terhadapnya.
Siapakah yang paling bertanggungjawab terhadap anak, jika begitu? Ayah
atau Ibu?
Well, pastinya kita semua sudah memahami bahwa tugas mendidik anak adalah
tanggungjawab bersama kedua orangtuanya. Ada peran-peran pendidikan yang harus
dilakukan oleh ayah, ada pula peran yang harus dihandle perempuan. Untuk itu
keduanya harus sinergi.
Mengawali bulan Oktober ini, saya mengikuti seminar islamic parenting yang diadakan oleh Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara (HSMN) Semarang. Seminar
tersebut menghadirkan dua narasumber dan pakar parenting, Ustadz Bendri
Jaisyurrahman dan Teh Kiki Barkiah. Bertempat di hotel Candi Indah, lebih dari
200 peserta dan panitia memadati aula utama tempat berlangsungnya acara.
‘Ayah Ibu jadilah sahabat dan guru
terbaikku’. Itulah tajuk acara Sabtu pagi yang ceria itu. ustadz Bendri
akan berbicara tentang peran ayah dalam pengasuhan anak, sedangkan Teh Kiki sharing
seputar ibu. Siapa tak kenal Teh Kiki? Beliau lah ibu dari 5 putra dan putri
(hampir 6) yang telah menelurkan dua buah buku ‘5 Guru Kecilku’ jilid 1 &
2. Buku yang berisi kisah perjuangan dan pengorbanannya mengasuh anak-anak
dengan berbagai karakter itu telah berhasil menginspirasi ribuan ibu Indonesia.
Semoga menjadi amal jariyah untuk beliau. Aamiin..
Ibu, Guru Pertama dan Utama
“Sebenarnya, kalimat ini sudah biasa saja, ya Bapak-bapak, Ibu-ibu? Tapi
kenapa sekarang menjadi ramai dibahas lagi?” begitulah Teh Kiki mengawali
sharingnya. Ya. Masing-masing kita mungkin sudah sangat paham bahwa guru
pertama bagi anak-anak adalah ibunya. Bahkan sejak dimulai dalam kandungan
telah tertanamlah kewajiban itu dipundak sang bunda. Mengajak berbicara si
janin di dalam perut, memberikan stimulasi, dll.
Di hari pertama ia lahir, sejatinya telah bertambahlah satu murid baru
dalam madrasah yang dikelola oleh Ayah-bunda.
Tapi apakah hal ini selalu kita tanamkan dalam diri kita sebagai
orangtua?
Saat ini justru terjadi pergeseran tanggung jawab pendidikan terhadap
anak. Banyak orang tua yang merasa aman (baca: sudah gugur tanggung jawab
terhadap pendidikan anak) ketika sudah mempercayakan kepada lembaga sekolah. Sementara
tangung jawab utamanya adalah untuk menjauhkan dirinya dan keluarganya dari api
neraka.
Tak bisa dipungkiri, dalam era gadget seperti saat ini terkadang waktu
kita lebih banyak digunakan untuk bercengkerama di dunia maya dibandingkan
dekat dengan anak-anak. Saya pun terkadang mengalaminya, untuk itu harus komitmen
untuk quality time bersama keluarga khususnya anak-anak.
Abah Ihsan, salah seorang pakar parenting membuat program 1821 yang
artinya setiap keluarga meluangkan waktu selama jam 18-21 untuk free gadget dan
TV dan mmebuat kegiatan bersama anak. Hm.. malu sih, saya belum bisa menerapkan
saran Abah Ihsan tersebut. Paling tidak mencoba untuk membersamai mereka di
waktu-waktu tertentu.
Menjadi Guru Pertama bagi Anak
Ayah-Bunda, dalam masa golden age anak-anak kita, mereka sangat
membutuhkan sentuhan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dan masa-masa inilah
juga merupakan ujian berat bagi kita. Bagaimana tidak? Saat-saat anak sibuk
berkesplorasi dengan dunianya, terkadang orang dewasa tidak memahami dan runtuh
kesabarannya.
Saya sendiri, tak jarang meledak saat siKecil aktif. Memang, seharusnya
bersyukur punya anak yang ingin tahu. Yeah! Saya yang lebih sering kurang
sabar, memang. Nahloh! Malah curhat kan jadinya?! Dan merasa tertampar sekali
dengan kalimat teh Kiki bahwa bisa jadi
kita sedang menghancurkan masa depan mereka karena kurangnya KESABARAN. Ya,
karena teriakan, bentakan dan kalimat negatif yang keluar dari mulut kita akan memuruskan
saraf-saraf otak yang tengah berproses tersambung antara satu dengan lainnya.
Mengerikan bukan? Ya Rabb... memang berusaha menjadi manusia yang sabar
itu termasuk ujian. Dan setiap anak pun berbeda. Karena orangtuanya berbeda,
dan kadar ketahanan serta ujian mereka dalam pengasuhan pun berbeda. Don’t
judge anything before we walk on their shoes, right?
Berhubung materi dari Teh Kiki panjang sekali, sebagian saya tulis
poin-poinnya saja, ya Ayah-Bunda.
Sikap yang perlu dibangun dalam
kegiatan belajar
- Antusias
- Rasa ingin tahu besar
- Kooperatif dan menyenangkan
Sikap yang perlu dibangun dalam lingkungan
sosial
- Mudah berinteraksi dengan anak lain
- Mudah berinteraksi dengan orang dewasa
- Aktif dalam kelompok
- Bermain dengan baik
- Bergiliran dan bergantian
- Peduli lingkungan
Sikap yang perlu dibangun saat
menemui masalah
- Menggunakan cara yang baik
- Menggunakan kata-kata yang baik
- Meminta bantuan dengan cara yang baik
Sikap yang perlu dibangun terkait
kemampuan komunikasi
- Mendengar dengan paham
- Dapat mengikuti arahan dan petunjuk
- Berbicara dengan jelas
- Bercerita pengalaman
- Bercerita urutan cerita
- Berani memberikan pendapat atau ide
Sikap yang perlu dibangun terkait
kegiatan membaca
- Memiliki minat
- Mendengar dengan antusias
- Menyampaikan kembali informasi
- Bercerita ulang melalui gambar
Sikap yang perlu dibangun dalam
kegiatan bermain
- Mampu bermain peran
- Mampu mengambil peran
- Mengembalikan imajinasi dan kreatifitas
- Belajar bertanggungjawab terhadap mainan
Langkah sederhana menjadi guru
pertama
- Menyusui langsung
- Diskusi
- Melibatkan bekerja
- Do it yourself
- Problem solving
- Kegiatan aktif kreatif
- Membaca bersama
- Olahraga bersama
- Cinta dan kasih sayang
- Membacakan Al-qur’an
- Doa dan sedekah
Jika ingin home education yang
terarah
- Mempelajari parameter perkembangan anak
- Mengintegrasikan materi dalam pengasuhan dan aktivitas sehari-hari
- Merencanakan, mempersiapkan dan mendampingi kegiatan belajar dan bermain
Oia, saat seminar berlangsung kami pun diberi ‘tayangan langsung’
bagaimana Teh Kibar mengasuh anak-anaknya, salah satunya adalah yang sudah
beliau tulis dalam status facebooknya.
Panitia: "Teh... kok bisa sih
Teteh tetep tenang barusan ngadepin anak. Saya aja yang liat deg degan, tegang
banget"
Kiki: "Ya kalo tegang mah
sama. Tapi ya harus di hadapi. Sepanjang tadi saya cuma bisa berdoa. Abis
gimana satu sisi peran saya sebagai ibu. Satu sisi lain saya juga pemateri yang
sedang ditunggu. Tadi sih saya sudah berserah seandainya gagal naik panggung,
ya qodarullah. Tapi saya berusaha gak mau berpisah sama anak dalam keadaan mereka
marah atau sakit hati"
Ya siapa yang tidak tegang. 30
menit membujuk anak yang tidak rela melepas sang ibu naik panggung karena ia
ingin ditemani main dan tidur. Sementara saya ditunggu lebih dari 200 orang.
Panitia pun bingung dan tegang. Tapi saya tahu anak saya. Saya tahu itu jam
mengantuknya. Qodarullah jadwal harus ditukar menjadi siang karena perubahan
pesawat pembicara lainnya. Sebagai ibu saya sudah punya firasat akan menghadapi
keadaan yang tidak mudah. Semua bujukan kegiatan bersama ayahnya tidak mempan
karena ia ingin melakukannya bersama saya. Saya tidak boleh naik panggung,
tidak juga mau pulang ke hotel tanpa saya. 30 menit kami hanya duduk di lantai
depan hotel. Dalam hati saya terus berdoa meminta kemudahan dari Allah.
Saya sudah mati gaya. Sudah tidak
punya ide membujuknya. Kecuali keyakinan saya bahwa hati anak ada dalam
genggaman Allah. Bahwa naik atau gagal naik ke panggung telah tertulis dalam
lauful mahfudz. Dalam pikiran saya hanya satu. Saya hanya akan naik panggung
dengan keihklasan anak saya. Saya tidak ingin kami berpisah dalam keadaan ia
terluka hatinya. Ah teringat kakak saya yang menangis meronta dan menendang
jendela sampai kaki berdarah saat ia tidak rela sang ibu pergi bekerja hari
itu. Ya Allah saya tidak ingin berpisah dengan memaksa, karena bagaimanapun
amanah seorang ibu lebih utama.
Saya pun ikut masuk mobil,
mengelusnya. Berharap Faruq tertidur dan saya bisa berlari ke panggung. Kata
demi kata saya urai namun tidak berhasil. Sampai kemudian ia tiba-tiba berkata
"oke, ummi boleh ke panggung" Saya memeluknya, menciumnya,
mengucapkan terimakasih padanya. Saya sedikit berlari dan memasuki ruangan.
Kemudian saya dapati balita-balita rewel anak peserta yang juga turut
mengantuk.
"Ya beginilah suasana jika
seminarnya pesertanya emak rempong dan pembicaranya emak rempong. Mari kita
bertepuk tangan!!!!!" Maka ruangan dengan lebih dari 200 orang warga
Semarang bergemuruh bertepuk tangan.
Percayalah kelak engkau akan
merindukkan kembali.....
Tentu, hati saya tergetar mendengar cerita bagaimana beliau membujuk
sikecil Faruq. Ah, lantar pikiran saya pun melayang, tak hanya sekali-dua kali
saat harus pergi ‘bertugas’ tanpa Hasna, maka saya meninggalkannya meski dia
setengah hati bersama mbah ti-nya.
Menjadi guru kehidupan utama
sepanjang hayat, adalah peran seorang ibu. Dan itu adalah proses panjang
terus menerus.
Tidak
sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa
sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya. (AT-Taubah: 122)
Allahua’lam bish-shawab
(bersambung ke ‘Menjadi Guru Kehidupan Sepanjang Hayat)
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
salam
gabrilla