Tumbuhkan Self esteem pada Anak agar Terhindar dari Bullying
Daftar Isi
“Mbak, si Kakak item, adeknya ko putih. Emang yang putih siapa?”
Saya kaget mendapati pertanyaan seperti ini muncul dari seseorang yang
belum lama kenal. Kalimat yang biasa saja tapi jika saya mendengarnya dalam
kondisi tidak sedang biasa saja, bisa-bisa gempar dunia persilatan. Untungnya saat
itu saya sudah kebal dan hanya menanggapi dengan santai.
Saya sudah kenyang dengan verbal bulliying yang dulu sering ‘mampir’
di telinga. Mulai dari sapaan ‘black girl’,
‘bibir ndoble’, ‘njaprut (cemberut)’, dll. Saya bahkan sampai merasa jika terlahir
dengan kulit gelap itu adalah aib. Rasa percaya diri saya menyusut, minder nggak
sembuh-sembuh, saya tumbuh jadi anak yang selalu menunduk dan wajah terlalu
serius. Ah, maaf untuk yang terakhir ini memang sudah dari sono-nya mungkin,
wajah jutek saat diam. Efeknya, saya sampai berpikir, apa ada laki-laki
yang mau menikah denganku dengan fisik yang seperti ini?
Alhamdulillah, setelah masuk bangku kuliah dan dipertemukan dengan
orang-orang hebat yang tak mementingkan fisik, perlahan self esteem-ku muncul. Rasa percaya diri mulai tumbuh kembali, meskipun
masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa minder. Padahal, minder adalah
tandanya self esteem belum kuat. Tak
apa, setiap orang butuh untuk berproses.
Ini hanya sekelumit contoh dari akibat buruk perundungan yang terjadi
pada anak. Kasus-kasus perundungan yang berujung maut pun masih acapkali kita
temui. Hanya sedikit yang terekspos, tetapi bisa jadi seperti fenomena gunung
es, sedikit yang tampak sedangkan di dalamnya tersembunyi dengan jangkauan yang
luas.
Baru-baru ini marak juga artis Korea yang mendapat komentar pedas dari penikmat
drama Korea karena si artis adalah tokoh antagonis dalam salah satu drama yang happening akhir-akhir ini. nah! Makin beragam
pula media perundungan. Jika dulu hanya dilakukan saat bertemu muka, sekarang
dari belahan dunia manapun bisa melakukannya. Ini tentu berubah mengerikan jika
orang masih doyan mem-bully orang
lain yang dianggap tak sesuai dengan dirinya. Jangan-jangan sejak kecil juga
suka mem-bully? Entahlah.
Self esteem atau Harga Diri
Burn (1978) memberikan definisi harga diri (self esteem) sebagai
penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya tersembunyi dan
tidak dinyatakan.
Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang
dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Dapat
diartikan bahwa harga dirimenggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai
dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan
kompeten.
Bisa disimpulkan bahwa self esteem
adalah penilaian positif seseorang terhadap dirinya, yang didapat dari proses
evaluasi diri terhadap kemampuan dan hal-hal yang ada dalam dirinya.
Namun hati-hati, self esteem
bukan berarti ujub atau merasa diri sendiri hebat secara berlebihan. Ujub adalah
kesombongan yang ada dalam hati, sementara self
esteem adalah menghargai kemampuan diri sendiri tanpa harus menganggap
orang lain lebih rendah.
Menanamkan Self esteem pada Anak
Anak memiliki self esteem yang
baik (baca: bukan sombong dan bukan gengsi) tak luput dari peran orang tua meskipun banyak faktor lain yang memengaruhinya.
DeHart, Pelham, dan Tenne (dalam Baron, Branscombe, & Byrne, 2008)
menyatakan bahwa dewasa yang dibesarkan
dalam keluarga dengan kasih sayang yang besar, memiliki harga diri yang lebih
positif dibandingkan dewasa muda yang dibesarkan dengan kasih sayang yang
sedikit.
Orang tua yang menghargai anak, mendidik dengan kasih sayang, dekat
dengan anak, akan lebih mudah membentuk self
esteem anak karena mereka merasa diperhatikan dan dihargai mulai dari
lingkaran terdekat dalam hidupnya.
Jika anak telah memiliki self
esteem yang positif, kemungkinan untuk mengalami perundungan saat bersama
teman-temannya akan cenderung lebih kecil.
Ini juga masih menjadi PR besar saya, karena si Kakak masih sering pulang
dengan menangis dan mengadu jika teman-temannya memanggilnya ‘jelek dan hitam’.
Sebagai penyintas perundungan, saya tak ingin anak-anak mengalami hal serupa. Maka
selain menumbuhkan self esteem saya
juga selalu menekankan agar anak-anak tidak meniru apa yang dilakukan temannya.
Cara ini memang belum sepenuhnya berhasil. Anak-anak masih mudah
menirukan apa yang didengarnya dari sekeliling. Jika sebelumnya dia dikatai
jelek, besoknya dia mengatai temannya jelek. Fyuuh... benar-benar PR berat. Semoga dengan bertambahnya usia dan
ketelatenan memberi nasihat dan contoh, anak-anak pun lambat laun memahami. Aamiin...
Yuk, Ayah-Bunda, jaga anak-anak kita supaya tidak menjadi korban bullying dan jangan sampai menjadi
pelaku. Selalu rangkul mereka dengan doa-doa terbaik kita.
Semoga bermanfaat,
Salam,
Sumber bacaan:
psikologihore dot com
ruangguru dot com
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
Seharusnya orangtua menghargai apapun hasil dari anak, dan mencoba memperbaiki lagi lain waktu. Sehingga anak akan lebih terpacu untuk belajar lebih giat lagi :)