Pentingnya Menyiapkan Dana untuk Persalinan
Pengalaman Berharga Persalinan Anak Pertama
Pengalaman adalah guru terbaik. Kata-kata bijak ini sangat tepat untuk menggambarkan pengalaman kami setelah kelahiran anak pertama. Waktu itu, kondisi ekonomi keluarga kecil saya memang belum stabil sehingga banyak kekurangan untuk menganggarkan dana kesehatan termasuk untuk biaya persiapan persalinan.
Menjelang menikah, usaha suami bangkrut sehingga harus banting setir dan mencari sumber penghasilan lainnya. lalu kami LDM (long distance marriage) selama beberapa bulan. Saya di Semarang tinggal bersama mertua, sedangkan suami di Surabaya membuka usaha penerjemahan dokumen. Usaha alih bahasa dokumen resmi penerjemah tersumpah, dan sesekali dokumen biasa kami terjemahkan sendiri.
Tak bertahan lama karena dana operasional di Surabaya membengkak, suami kembali ke Semarang dan melanjutkan usaha terjemahan di rumah. Beliau juga mengabdi di salah satu lembaga sosial, menjadi relawan dan sopir ambulans yang biasa membawa jenazah.
Penghasilan bulanan jelas belum mencukupi kebutuhan kami. Beruntung orang tua memahami kondisi dan sangat banyak menyokong. Meski dengan menahan malu dan bermuka tebal karena sudah menikah tapi masih numpang mertua.
Alhamdulillah, kehamilanku terbilang cukup lancar. Saya periksa kehamilan di bidan terdekat dari tempat tinggal, hanya berjarak beberapa blok dan bisa dijangkau dengan jalan kaki. Saya juga berencana melahirkan di sana.
Perkiraan biaya melahirkan di bidan tersebut di tahun 2014 sejumlah 1,5 juta rupiah sudah termasuk beberapa perlengkapan. Lainnya, saya telah dibekali daftar barang yang harus dibawa saat persalinan.
Selama menanti kelahiran anak pertama kami, tentunya kami juga menabung sebagai persiapan biaya persalinan. Sayangnya, karena kondisi di atas kami hanya bisa menabung sekadarnya, cukup untuk biaya bersalin di bidan dan membeli perlengkapan bayi. Dana kami tak cukup untuk persiapan jika harus operasi sesar. Saat muncul bayangan kemungkinan persalinan sesar, saya menepisnya jauh-jauh dan berbaik sangka serta meminta kepada Allah supaya dimudahkan untuk menjalani persainan normal/pervaginam di bidan.
Namun Allah berkehendak lain. Tepat sepekan sebelum HPL (hari perkiraan lahir), tiba-tiba ketuban pecah di siang bolong. Saya pun harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, dan malam harinya dalam kondisi yang sudah lemas menahan kontraksi dan induksi, saya harus menjalani persalinan sesar.
Saat itu rasa sakit tak hanya terasa di sekujur tubuh, tapi juga di hati. Sakit dan malu terutama kepada kedua mertua. Sudahlah kami hidup menumpang, saat persalinan masih juga merepotkan. Biaya persalinan sesar tentunya tak murah bukan? Meskipun kami sudah berusaha memilih kelas terbawah di salah satu rumah sakit ibu dan anak. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan mertua saya. Aamiin.
ilustrasi, pixabay |
Menyiapkan Persalinan VBAC di Semarang
Tiga tahun setelah kelahiran anak pertama, saya hamil anak kedua. Kali ini, saya berusaha keras untuk bisa melahirkan normal setelah sesar. Cara ini biasa dikenal dengan istilah VBAC atau vaginal birth after cesarean.
Menyiapkan VBAC tentunya juga membutuhkan usaha yang tak sedikit. Mencari ilmu, sharing sana-sini ke teman-teman yang sudah pernah VBAC, mengikuti grup VBAC di facebook, menjaga asupan makanan, dll. Tak kalah penting, kami juga harus menyiapkan biaya persalinan terburuk, kembali menjalani persalinan sesar.
Ya, belajar dari pengalaman anak pertama, di persalinan kedua kami harus menyiapkan sebaik mungkin. Kami sadar akan adanya kemungkinan terburuk yaitu harus sesar lagi dan tentunya harus siap mental dan biaya, tetapi dalam setiap doa selalu tersemat pengharapan agar bisa melahirkan normal.
Kenapa ingin melahirkan normal? Karena biaya yang lebih murah dan pemulihan yang relatif lebih cepat meskipun tak luput dari risiko mengingat perut dan rahim pernah ‘dibelah’.
Waktu itu Allah menguji lagi kondisi ekonomi kami. Suami resign dari pekerjaannya dan membuka usaha warung es bersama rekannya. Kondisi warung tak semulus harapan, meski setiap hari selalu ada pembeli. Terkadang kami harus menebus sendiri sisa jualan yang tak mungkin disimpan untuk esok hari. Subahanallah, ini benar-benar membuat hati gamang dan setiap saat selalu memohon agar bisa melahirkan normal, supaya tak lagi merepotkan orang tua.
Di tengah kegalauan itu, Allah memberi jalan rezeki dari jalur lain, tawaran pekerjaan untuk blog dan medsos mengalir deras sehingga saya juga bisa menabung biaya melahirkan di rumah sakit. Bantuan dan dukungan doa dari orang tua kami pun tak henti mengalir.
Merencanakan Biaya Persalinan di Rumah Sakit di Kota Semarang
Saya memilih salah satu dokter di RS Roemani Semarang. Pertimbangan memilih RS ini adalah karena letaknya tak terlalu jauh dari rumah mertua di Tlogosari, banyak yang merekomendasikan, ada salah satu dokter pro-VBAC yang cocok, dan saya juga punya beberapa kenalan yang bekerja di sana.
Berhubung harus melahirkan di rumah sakit karena ibu hamil dengan risiko tinggi, saya hanya mencari informasi di 2 rumah sakit yaitu di rumah sakit bersalin saat anak pertama dan di RS Roemani. RS pertama saya coret dari daftar karena dokter yang dulu menangani kurang mendukung VBAC, beliau menyarankan untuk re-SC.
Saya mengumpulkan informasi biaya persalinan melalui web RS Roemani dan mendatangi bagian informasi untuk mendapat informasi lebih detail. Tahun 2017, biaya yang harus kami siapkan untuk persalinan di RS Roemani sebagai pasien umum (kami belum punya BPJS waktu itu) kurang lebih 4 juta rupiah untuk persalinan normal dan di kamar kelas 1, dan mulai 7 juta rupiah untuk persalinan normal di kelas 3. Kami berharap bisa melahirkan normal dan mendapat kamar kelas 2.
Akhirnya saat due date, kamar kelas 2 dan 3 penuh, sehingga pilihannya hanya ada kamar kelas 1 atau kelas atasnya. Kami pun memilih kelas 1. Alhamdulillah, saya bisa melahirkan pervaginam dan biaya yang dikeluarkan untuk persalinan kurang lebih 4,5 juta, menginap selama 2 malam di RS.
Selain biaya persalinan di RS, tentu ada biaya lain yang harus kita persiapkan sebelum dan sesudahnya. Mohon maaf Ayah/Bunda, saya sudah lupa rincian biaya mendetail semua persiapan itu. Namun karena ini persalinan kedua dan saya masih menyimpan banyak perlengkapan bayi, saya tak mengeluarkan banyak dana untuk bagian ini, hanya menambahkan beberapa item yang sudah tidak punya atau yang masih kurang. Bisa dibilang kali ini saya ‘hanya’ menyiapkan biaya persalinan dan biaya bulanan untuk konsultasi dokter dan vitamin.
Jika Ayah/Bunda tengah menyiapkan persalinan anak pertama dan tidak ada ‘warisan’ perlengkapan bayi, tentunya harus merogoh kocek lebih dalam. Jangan lupa, fokus pada kebutuhan, bukan pada keinginan karena printilan perkap bayi itu sangat menggoda kaum ibu untuk memborongnya meskipun barang-barang yang kurang dibutuhkan, hanya karena alasan ‘lucu’.
Belajar Bijak Mengatur Keuangan Keluarga
Saya masih terus belajar untuk mengatur keuangan keluarga. Hingga saat ini, suami lah yang memegang peranan penting sebagai manajer keluangan rumah tangga. Bagi sebagian orang bisa jadi hal yang dihindari, istri lah yang mengatur segala urusan finansial keluarga. Sebenarnya saya punya keinginan yang sama, tapi harus mengakui keadaan bahwa saya masih kurang rapi sehingga tetap suami yang handle, dan saya ‘hanya’ memegang uang jatah belanja bulanan atau per 10 hari.
Cara ini cukup menguntungkan buat saya sih, karena jadi lebih simpel dan tidak repot. Saya juga tetap bisa belajar cara mengatur duit dari suami yang cukup pandai akuntansi, pelajaran favoritnya saat SMA.
Seringkali saya trenyuh ketika mendengar berita orang tua yang tidak bisa membawa anaknya pulang dari rumah sakit karena terkendala biaya. Jika bukan karena pertolongan Allah melalui tangan mertua yang baik hati, tak ada yang menjamin waktu itu saya bisa mengalami hal serupa, bukan?
Jadi, anggaran biaya kesehatan termasuk biaya persiapan persalinan adalah biaya yang tak boleh diabaikan. Efek tidak menyiapkan persalinan dengan baik akan dirasakan juga pasca persalinan dan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikis ibu. Bukankah orang tua terutama ibu yang bahagia lah yang akan bisa membuat anak-anak juga bahagia dan ceria? Persiapan yang baik, supporting system yang mendukung akan mengurangi risiko ibu mengalami baby blues dan post partum depression lainnya.
Saat ini kami sudah terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Kesehatan, namun untuk program hamil anak ketiga, masih maju/mundur cantik karena berbagai pertimbangan. Kami tak ingin mengalami kendala seperti persalinan sebelumnya, jadi harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik sembari terus ‘merayu’-Nya lewat sujud-sujud panjang.
Ayah/Bunda yang punya pengalaman berkesan dalam menyiapkan kelahiran anak, silakan sharing di komentar, ya!
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
Syukron bun