Cerita VBAC Keduaku
Cerita VBAC keduaku ini kutulis di sela mengASIhi anak ketiga kami. Masih tak menyangka Allah kembali memberikan kemudahan dalam persalinan. Saya yang melahirkan SC anak pertama, bisa melahirkan pervaginam/normal anak kedua dan ketiga. Istilahnya, berhasil 2VBAC alias 2 kali persalinan normal setelah sebelumnya SC.
Setiap kehamilan dan persalinan memang unik, tak ada yang menyamai bahkan anak yang terlahir dari rahim yang sama pun. Anak pertama berbeda dengan anak kedua, beda dengan anak ketiga, dan seterusnya.
Kurasakan kehamilan ini sungguh berat. Entah karena faktor U paling berperan atau karena faktor lain yang saya tak tahu. Morning sickness di awal hamil yang sungguh menyiksa, membuat aktivitas sehari-hari tidak tertangani dengan baik. Badan terasa lebih mudah capek, swing mood parah, insomnia, dan banyak ketidaknyamanan lainnya yang makin meningkat hingga trimester 3.
Putus Asa di Tengah Perjalanan
Pekan ke 29 dokter mendiagnosis plasenta previa. Hal yang membuatku syok dan sempat putus asa karena kemungkinan besar harus SC kembali.
Untunglah suami menenangkan, mengatakan jika memang jalan terbaik harus re-SC, mau tak mau harus dijalani, demi kesehatan dan keselamatan semuanya. Suami pun harus menyiapkan plan B, dari plan A yang sejak awal kami inginkan.
Mencari 2nd opinion menjadi "jalan ninja" kami. Bela-belain naik bus ke Singapadu, Kabupaten Gianyar untuk periksa ke bidan yang mendukung gentle birth. MasyaAllah, di sana terasa mendapatkan energi kembali. Terlebih saat tahu saya pernah VBAC, beliau tak ragu mengatakan, "dulu pernah normal, kenapa sekarang nggak dicoba normal lagi?"
Namun sampai di rumah saya harus kembali realistis. Jika melahirkan di sana, tentu kami akan kerepotan menuju ke lokasi dengan kendaraan roda dua. Jaraknya cukup jauh, dan persalinan tak bisa ditentukan waktunya. Suami pun kurang berkenan jika jaraknya sejauh itu. Yasudah, ridha suami lebih utama.
Selain itu, saya pun masih merasa was-was jika melahirkan di bidan, karena aturannya, ibu yang pernah SC diharuskan melahirkan di rumah sakit dengan fasilitas memadai. Tujuannya agar ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, bisa langsung diatasi sesegera mungkin. Bukan berharap hal buruk, hanya menyiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin. Pasrah pada Allah tanpa melupakan ikhtiar.
Persalinan 2VBAC, Atas Kuasa dan Kemurahan Allah
Saat kontrol bulan selanjutnya, dokter tak sedikit pun membahas tentang plasenta. Saya pun diam saja terlebih setelah beliau berkata, "ini mau usaha lahir normal dulu kan? Hati-hati, ya. Dipantau terus kehamilannya karena ada riwayat SC."
Lega tak terkira begitu keluar dari ruang periksa, karena kembali muncul setitik harapan untuk persalinan normal lagi. Namun waktu itu dokter mengatakan air ketuban kurang sehingga saya dikasih PR untuk minum air putih minimal 3 liter/hari ditambah air kelapa muda.
Kenapa sih saya begitu berusaha untuk melahirkan normal? Alasan pribadi saja sebenarnya. Setelah pernah merasakan lahiran SC dan pervaginam, rasanya lebih nyaman persalinan pervaginam. Tak dipungkiri, rasa sakitnya menjelang pembukaan lengkap memang tak terkira. Namun pemulihannya lebih cepat dibanding pasca SC. selain itu, biaya yang harus dikeluarkan pun lebih sedikit dibanding SC. Meski begitu, sejak awal saya sudah menyiapkan mental jika Allah kembali menakdirkan saya harus re-SC. Ikhtiar semaksimal mungkin untuk menyiapkan persalinan alami, tetapi pada akhirnya harus pasrah dengan skenario dari Allah. Begitu yang sering saya gumamkan.
H – 5 HPL
Pagi hari, belum ada tanda-tanda menuju persalinan. Saya masih bersantai di rumah, sesekali jalan kaki karena tidak nyaman berjalan kaki di luar rumah. Oh ya, sebelumnya saya sering berjalan kaki di lapangan atau di jalan sepi bersama suami dan anak-anak menemani. Namun setelah kaki dan badan makin membengkak, kaki terasa nyeri dan tidak nyaman untuk berjalan sehingga saya memilih untuk jalan kaki di dalam rumah, sesekali selonjoran ketika capek.
Siang hari, menjelang shalat dhuhur, muncul lendir darah berwarna merah muda kecoklatan, seperti saat menjelang berakhir masa haid. Setelah saya pastikan itu benar-banar mucus plug yang biasanya mengawali persalinan, saya pun menyampaikan ke suami untuk siaga karena setelah ini sewaktu-waktu bayi bisa lahir.
Berhubung kontraksi belum intens muncul, saya gunakan waktu siang hingga sore hari untuk istirahat, berjaga-jaga jika semakin malam kontraksi semakin intens, saya sudah punya “tabungan” energi. Bakda isya badan terasa kurang enak, saya kembali beristirahat setelah sebelumnya menyiapkan gym ball.
Sekitar pukul 10 malam, terbangun karena kontraksi. Setelah itu, saya mencoba memantau dan jarak kontraksi sudah per 15-20 menit. Saya pun bergerak di gymball melakukan pelvic rocking dan jalan kaki di dalam rumah saat kontraksi datang.
Suami mulai cek kembali barang dan dokumen yang akan dibawa ke RS, memastikan barang yang dibutuhkan sudah lengkap agar tidak bolak-balik.
Semakin menuju pagi, kontraksi semakin kuat dan jaraknya semakin dekat. Anak kedua lahir dini hari, sebenarnya kali ini saya berharap tidak lahiran dini hari lagi, mengingat hanya ada kendaraan roda dua untuk menuju RS dan dokter pun pastinya sedang tidak stand by di RS.
Menjelang pukul 3 pagi, keluar lendir darah dalam jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya, bercampur dengan air kental. Saya curiga itu adalah air ketuban yang sudah keluar. Saya pun langsung bersiap untuk mandi, agar jika sewaktu-waktu berangkat ke RS, badan sudah terasa segar.
Menjelang pukul 4, interval kontraksi semakin pendek. Saya ingin menunggu bakda shalat subuh terlebih dahulu agar suami tidak kesulitan. Namun rasanya sudah tak kuat menahan kontraksi yang makin menguat. Akhirnya pukul 04.05 kami keluar, menuju RS yang berjarak kurang lebih 4 KM dari rumah. Selama di perjalanan, saya terus memantau kontraksi, yang jaraknya semakin dekat, tak sampai 5 menit.
Sampai di RS, saya langsung menuju loket pendaftaran sementara suami memarkirkan sepeda motor. Di sela mengurus administrasi, kontraksi kembali datang. Saya pun berjalan mondar-mandir di lobi, urusan pendaftaran digantikan oleh suami. Selesai registrasi, perawat memandu saya menuju ruang bersalin setelah sebelumnya menanyakan apakah saya masih kuat berjalan kaki.
Sampai di ruangan bersalin masih harus mengisi data dan skrining. Setelah itu masuk ke kamar bersalin. Di sini, saat diminta untuk naik ke ranjang, kontraksi kembali datang dan lebih kuat dari sebelumnya. Saya masih bersandar di ranjang hingga kontraksi menghilang.
Setelah dimonitor, bidan melakukan VT (vaginal toucher), dan diperkirakan bukaan sudah mencapai 6. Saya terbayang lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampai bukaan lengkap. Bidan menyilakan suami untuk mengurus administrasi. Belum juga keluar ruangan, saya sudah menahan tangannya untuk bertumpu karena tiba-tiba kontraksi datang, makin kuat dan mulai ada tanda-tanda ingin merejan.
"Pak, silakan diurus administrasinya," kata Bu Bidan.
"Tapi ini istri saya minta pegangan, Bu."
"Nggak apa-apa, Pak. nanti saya bantu pegangin."
Hanya berselang beberapa menit setelah suami keluar ruang bersalin, keinginan merejan kembali datang. Bidan berkali-kali mengingatkan untuk mengatur napas, tapi seolah ambyar dan saya kesulitan bernapas tiap kontraksi datang, bingung nahan kontraksi dan atur napas. Padahal saat hamil sudah berlatih napas perut secara rutin. Belum lagi terasa pengap dengan masker tapi tetap harus taat prokes.
Gelombang cinta kembali datang, tiba-tiba keluar p*p tanpa bisa kutahan. Saat meminta maaf pada bidan, beliau mengatakan tidak apa-apa, santai saja dan bermaksud membersihkannya.
Gelombang cinta datang lagi, kali ini tiba-tiba seperti ada yang mendorong jalan lahir dan tertahan. Saya masih berteriak mengeluh kesakitan tak karuan tiap kontraksi datang. Rasanya sungguh berbeda dengan persalinan sebelumnya. Kali ini tangan Bu Bidan menjadi "korban" pegangan sambil menahan sakit dan mencoba tetap "waras".
Saat gelombang cinta kembali datang, kurasakan tangan bidan menahan jalan lahir. Beliau panik, memanggil temannya untuk menyiapkan beberapa hal karena bayi sudah hampir keluar. Sekitar 5 menit mereka sibuk menyiapkan ini-itu dan saya masih berkutat menahan kontraksi. Setelah semuanya siap, saya diposisikan telentang dengan lutut terbuka. Serta-merta bayi keluar tanpa saya perlu mengejan. MasyaAllah walhamdulillah, sungguh amazed bayi itu telah lahir. Saya bahkan perlu untuk bertanya, memastikan bayinya benar-benar telah lahir.
Saya melirik jam digital yang terpasang di atas pintu, pukul 4.54, padahal saat masuk RS untuk mendaftar, sudah pukul 04.25 WITA. Dokter pun belum datang ke RS, saya masih terbaring menunggu plasenta keluar sembari menanti beliau datang.
Merasakan Manfaat Senam Maryam
Sejak usia kehamilan 22 pekan, saya dapat informasi Senam Maryam online gratis oleh tim Bidan Mugi Rahayu. Saya pun gercep bergabung ke grupnya untuk mengikuti. Alhamdulillah, meskipun tidak rutin setiap hari, saya bisa ikut senam virtual langsung dengan instrukturnya.
Saat senam libur, saya melakukan gerakan sendiri sembari menyimak instruksi dari YouTube Persalinan Maryam, rekaman saat Senam Maryam Virtual diadakan.
Saat webinar Senam Maryam, pernah disampaikan juga hasil penelitian mengenai Senam Maryam. Salah satu manfaatnya adalah mempercepat proses pembukaan jalan lahir.
Bismillah, saya pun berusaha rutin senam karena pengalaman persalinan anak kedua (VBAC), sejak awal dokter menyarankan untuk rutin senam hamil sebagai persiapan fisik menjelang persalinan.
“Bu, Ini bagus sekali, hampir nggak ada robekan,” kata Bidan saat bayiku telah lahir dan dibawa ke ruang observasi bayi untuk dibersihkan.
“Ibu rajin senam hamil?”
“Iya, saya rutin Senam Maryam minimal sepekan sekali, kadang setiap hari.”
“Oh, pantas. Jadi lebih elastis, Bu. Ini nanti kalau dijahit pun hanya sedikit,” lanjut bidan itu.
MasyaALlah, lagi-lagi saya bersyukur, saya mendapatkan manfaat dari ikhtiar senam yang saya lakukan. Semoga menjadi amal jariyah bagi Bidan Mugi dan timnya yang telah memfasilitasi Senam Maryam virtual gratis khususnya selama PPKM Darurat.
Saat itu, dokter belum datang sehingga saya masih menunggu plasenta keluar sembari menunggu beliau.
“Cepat sekali lahirnya. Tadi saya ditelpon mau shalat subuh, baru juga ambil air wudlu rupanya sudah lahir. Yasudah saya lanjutkan shalat dulu. Nanti kalau hamil anak ke-4, jangan kelamaan nunggu di rumah, ya, takut tiba-tiba sudah brojol waktu masih di rumah,” seloroh dokter.
Saya hanya menanggapi dengan senyuman sembari meringis manahan nyeri saat tangan dokter bekerja.
Suami yang sudah selesai mengurus administrasi terkaget-kaget saat masuk kembali ke ruang bersalin, dokter sudah datang dan sedang menjahit.
"Lho, sudah lahir?" Tanyanya
"Iya, Pak. Cepat sekali ini lahirnya."
"Alhamdulillah... Sudah lega," jawabnya penuh syukur.
Ikhtiar Bumi dan Langit untuk VBAC
Apa saja yang harus disiapkan untuk VBAC? Maka jawabannya adalah ikhtiar bumi dan langit. Ikhtiar “Bumi” dengan memberdayakan diri, dan ikhtiar “langit” dengan memohon dan pasrah sepenuhnya kepada Allah.
Beberapa Hal yang Saya Lakukan sebagai Ikhtiar untuk 2VBAC:
Senam Maryam
Sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa saya rutin melakukan Senam Maryam sejak pekan ke-22 kehamilan. Alasan memilih Senam Maryam karena gerakannya yang memadukan gerakan senam hamil dasar dengan gerakan shalat dan visi-misi Senam Maryam yang terasa sejalan dengan prinsip.
Terlebih lagi senamnya secara virtual sehingga saya bisa melakukannya di dalam rumah, di tempat yang paling nyaman bagi saya. Selama senam virtual, biasanya instruktur meminta peserta untuk menyalakan kamera untuk memantau tidak ada laki-laki yang tergabung dalam zoom meeting dan untuk memantau gerakan setiap peserta.
Makan Kurma (Ajwa)
Saat webinar Senam Maryam, bidan Mugi juga menyampaikan tentang hasil penelitian mengenai manfaat kurma bagi ibu hamil. Saya pun sejak sebelum hamil sering nyetok kurma sebagai camilan. Alhamdulillah, saat butuh kurma tiba-tiba ada kenalan yang menjual kurma ajwa dengan harga miring. Saya pun memesannya sebagai ikhtiar tambahan. Saya ingat saat persalinan anak kedua pun, kurma juga sangat membantu pemulihan.
Sekarang setelah melahirkan dan stok kurma ajwa habis, saya beralih mengonsumsi kurma tunis madu yang lebih ekonomis dan salah satu kurma favorit karena tidak terlalu manis.
Jalan Kaki
Salah satu ikhtiar untuk persalinan alami adalah latihan fisik. Fisik benar-benar harus disiapkan, terutama kaki dan panggul untuk menopang saat persalinan. Saya ingat dulu dokter dan bidan menyarankan saya setiap hari harus jalan kaki tanpa boleh skip.
Dokter kali ini tidak menyarankan untuk latihan fisik termasuk jalan kaki, tetapi saya sudah berusaha rutin jalan kaki sejam TM 2. Biasanya saya jalan kaki sore hari di lapangan sekalian anak-anak main atau jalan di komplek yang sepi, bukan di lingkungan tempat tinggal saya yang jalannya ramai kendaraan.
Biasanya, saya jalan kaki minimal 15 menit di lapangan ditambah jalan kaki di rumah. Sebenarnya, hitungan ini sangat kurang untuk latihan fisik. Banyak yang menyarankan rata-rata setiap hari jalan kaki selama 1 jam (akumulasi). Namun saya melihat kondisi diri-sendiri yang tak lagi setangguh dulu, sehingga saya sesuaikan dengan kemampuan.
Cukup Nutrisi & Suplemen
Asupan nutrisi juga menjadi sorotan saat hamil dan menyiapkan persalinan. Dulu dokter menyarankan untuk diet karbo dan gula, diimbangi dengan asupan protein tinggi dan makanan kaya zat besi untuk mengatasi masalah HB saya yang sering rendah.
Berhubung asupan nutrisi terasa kurang seimbang (karena saya sering tidak sanggup masak dan akhirnya beli, saya rajin mengonsumsi suplemen dari bidan dan dokter.
MasyaAllah, rupanya ini juga berpengaruh. Saat persalinan, meskipun tak terduga tiba-tiba tensi darah tinggi, persalinan berjalan lancar dan darah yang keluar pun hanya sedikit. Saya sempat khawatir jika HB rendah (lagi) dan terjadi perdarahan atau seperti saat lahir anak kedua, saya membutuhkan observasi lebih lama karena darah masih mengalir deras setelah beberapa jam pasca persalinan. Alhamdulillah saat itu tidak terjadi masalah lebih lanjut.
Supporting System
Ibu hamil dan menyusui pasti membutuhkan supporting system yang mendukungnya, khususnya suami. Bersyukur, suami selalu membiarkan saya merasa nyaman meskipun tidak masak, rumah berantakan, dan seabrek urusan rumah tangga lainnya tidak ter-handle karena badan yang mudah lelah.
Berhubung kami tinggal di perantauan dan masih suasana pandemi, kami merencanakan persalinan dengan membawa serta 2 anak ke RS, berusaha untuk tidak merepotkan orang tua. MasyaAllah, tahu-tahu bapak dan ibu mertua mengabari akan datang ke Bali sebelum perkiraan lahir. Beliau pun datang kurang lebih 2 pekan sebelum HPL, sehingga saat waktunya melahirkan saya bisa didampingi suami sedangkan anak-anak di rumah bersama eyangnya. Kebetulan pula saat lahir, si Ayah sedang libur sehingga tidak perlu kerepotan memikirkan cuti atau izin.
Merayu Allah
Sebenarnya saya malu membahas bab paling penting ini. Di mana setiap keinginan kita tidak akan terkabul jika Allah belum berkehendak. Saya ingat, seorang sahabat pernah berkata, “jangan lupakan tahajjud, Mbak jika menginginkan VBAC.”
Namun kali ini, aktivitas ibadah saya sedang berada di titik tak menentu. Saya sering insomnia sehingga tidur larut dan kesulitan untuk bangun di sepertiga malam. Meski begitu, saya seperti seorang hamba yang tak tahu malu dan terus berdoa memohon kemudahan bagi Allah.
Sungguh, saat itu sudah pasrah dengan hasil akhirnya, apakah bisa normal atau re-SC. setiap hari kurapalkan doa memohon kemudahan.
Sekali lagi, saya bisa menjalani persalinan VBAC kedua ini adalah atas kuasa dan kemurahan Allah. Semoga Bunda yang sedang ikhtiar persalinan alami juga dimudahkan oleh Allah. Aamiin.
Semoga cerita VBAC ini bermanfaat.
Salam,
Mohon untuk tidak menyematkan link hidup dan spamming lainnya. Jika tetap ada akan saya hapus.
Salam,
Mau browsing senam maryam.
Trimakasih sharing ceritanya, menginspirasi semoga sukses juga vbac